Minggu, 13 Juli 2008

Festival Aeng-Aeng di Solo : Membangun Pemikiran Alternatif

Oleh : Thomas Pudjo Widiyanto
Kompas, Selasa, 14 Mei 2002


Festival Aeng-Aeng, dalam Bahasa Indonesia artinya festival aneh-aneh. Ya aneh-aneh itu kenyataan dalam Festival Aeng-Aeng di Solo, Minggu (12/5/2002). Festival yang berlangsung hanya dua jam yang menampilkan sekitar 15 peserta ini, banyak mendapat perhatian pengunjung.

Pongki Soepono (57) penjual onde-onde asal Solo, memamerkan karya onde-onde yang berdiameter 15 sentimeter. Onde-onde adalah makanan berbentuk bulat khas Solo, yang terbuat dari gandum dan di dalamnya berisi adonan kacang hijau rasa manis.

Masih berkait dengan makanan ini, Sukatno (57) dari Tawangmangu memamerkan ketidaklaziman makanan sate, yaitu sate daging hewan landak. Setiap pengunjung yang hadir, diminta mencicipi sate itu, dan enak.

Murdoko (33) asal Solo membuat papan catur untuk empat pasang pemain, yang diberi nama Indo Chess. Gagasan orisinal itu, nyaman juga ketika dipraktikkan untuk main catur. Ibnu Syarif, menciptakan tasbih raksasa, ukurannya sekitar tiga meter dan biji tasbeh yang terbuat dari kayu, sebesar kepala orang dewasa.

Orang pasti akan tertipu ketika Tom Hari (66) warga Kepunton membawa tas koper karyanya. Karena begitu dibuka koper itu akan membentuk sebuah kursi atau tempat duduk dengan empat kaki. Koper yang dipamerkan oleh Tom, bisa digunakan sebagai tempat barang, sekaligus untuk duduk.

Replika syair lagu Bengawan Solo karya Gesang, yang dipamerkan oleh Maryono benar-benar aeng. Replika itu dari bahan triplek selebar kertas kuarto. Huruf tidak ditulis dengan tinta, tetapi dengan cara digergaji. Sungguh kerja yang rumit dan butuh ketekunan.

Atau Suyadi menuangkan perasaannya dengan membuat lukisan dari mesin ketik. Tebal tipisnya bagian-bagian lukisan itu, tergantung dari hentakan keras lembutnya dalam menekan huruf-huruf mesin ketik. “Dan itu berarti penuangan perasaan yang sangat dalam,” katanya.

Lebih aeng lagi Mayor Haristanto, yang memiliki profesi langka yaitu menjadi konsultan penggalangan supporter sepakbola. Setidaknya dia sudah tiga kali dia diundang memberikan konsultasi terbentuknya kelompok supporter PSM Ujung Pandang, PSPS Pekanbaru, dan Persma Manado. Dia pribadi pula yang akhirnya ikut membidani lahirnya grup supporter tiga klub sepakbola itu. “Sebagai konsultan saya diundang dan juga dibayar,” tegasnya.

Barangkali yang menarik dari festival ini adalah konsep yang kemudian muncul di balik ide pemikiran festival Aeng-Aeng itu. Secara tidak langsung, festival itu mengajak orang berpikir alternatif.

“Festival ini sengaja kita gunakan mengajak masyarakat untuk tidak berpikir yang mapan-mapan saja. Berpikir aeng-aeng adalah berpikir berani, karena tidak dibatasai oleh koridor-koridor baku,” kata Mayor Haristanto pemrakarsa festival ini.

Bambang Haryanto, kolega Mayor Haristanto yang ikut membidani lahirnya festival ini menyatakan, dalam tataran anak, misalnya di sekolah dasar, seringkali kreativitas yang aeng-aeng ditabukan dengan pemali yang diciptakan oleh guru, sehingga anak tidak bisa mengembangkan pemikiran kreatifnya. “Festival inilah ingin menghilangkan semua. Karena itu, festival semacam ini layak ditonton oleh anak-anak sekolah, biar sejak kecil mereka terpacu untuk berpikir alternatif,” katanya.

Dan dari festival ini pula tampaknya bisa mengangkat “mutiara-mutiara” kreatif yang terpendam di negeri ini. Seperti Hio Aryanto dari Purwosari Solo, banyak memiliki karya kreatif. Kalau pameran ini direncanakan setiap bulan, Aryanto siap ikut sebelas bulan, karena dia memiliki 11 karya alternatif yang masih dirahasiakan.


raa

Tidak ada komentar: